Immanuel Kant versus Flores

Kebudayaan Ende/Lio ditinjau dari segi filsafat

Satoshi Nakagawa

2018-09-10 09:35

Kata Pengantar

0.1 UniFlor dan Saya

kebaikan Bapak2/Ibu2 dari UniFlor. terutama Bapak Moderator, Guru Alfons, Dia memberi kesempatan kepada saya untuk kuliah umum ini.

Saya sampai di Ende pertama kali pada tahun 1979 — hampir 40 tahun yang lalu. Satu satunya Universitas (Universitas Cendana, cabang Ende) di kab. Ende baru ditutup. Sementara Bapak Gadi Djou, Bupati pada waktu itu, berjuang. supaya Ende tetap dapat suatu Universitas. Syukurlah, akhirnya dia dapat mendirikan Universitas Flores.

(Seperti saya bilang) saya sampai di Ende pada tahun 1979, hampir 40 tahun yang lalu. Lokasi Universitas Flores pada waktu itu di bekas Kantor Bupati, dekat lapangan. Universitasnya kecil sekali. Ada orang bilang itu “Universitas Kampongan”. Padahal, UniFlor ini bukan “Universitas Kampongan” — Orang2 didalam (baik dosen2 maupun mahasiswa/siswi) semuanya bersemangat. Akhirnya UniFlor menjadi begini besar dan punya akreditasi yang tinngi.

Bandara 40 tahun yg lalu
Bandara 40 tahun yg lalu
Bandara sekarang
Bandara sekarang

Duluh anak anak kampong kalau mau lanjut sampai pendidikan tinngi, harus ke Jawa. Saya dengar banyak cerita tentang anak2 yang tidak berhasil karena dibiarkan terlalu bebas. Ini ceritanya menyedihkan…. Nah, datanglah UniFlor. UniFlor, letaknya di kota Ende, dekat dengan kampong halamannya anak2. Saya kenal banyak anak2 kampong yang berhasil di UniFlor, sampai dapat Wisuda.

Saya rasa bangga dan rasa gembira sekali, diundang, akhirnya, ke UniFlor untuk memberikan kuliah umum. Menyesal, Bapak Gadi Djou sudah tidak ada lagi. Menyesal juga, Almarhum Bapak Stephanus Djawanai baru saja meninggal. Kita sebagai ana embu/mamo ko Bapak Ema dan Bapak Steph. harus berjuang supaya UniFlor menjadi Universitas yang lebih baik. Saya harap kuliah saya ini menjadi suatu kontribusi kecil.

0.2 Garis Besar Kuliah ini

Saya dapat undangan untuk kuliah umum ini hanya beberapa hari yang lalu. Waktunya begitu singkat. Tidak bisa buat persiapan baik untuk kuliah umum ini. Ma’afkan saya . kalau anda pikir kuliah ini setengah matang. Telur setengah matang (“soft boiled egg”) kadang2 rasa lebih enak daripada telur rebus yang matang (“hard boiled egg”).

meletak kebudayaan Ende/Lio didalam perspektive filsfat (in the philosophical perspectives). terutama sehubungan dengan debat diantara Enlightenment versus Romanticism / Liberalism versus Communitarianism.

0.3 Settings

Sementara ini, saya telah buat penelitian di 3 tempat di Kabupate Ende: yaitu

Didalam kuliah ini, saya akan fokus di Ende saja . Tetapi, seperti dijelaskan didalam kuliahnya, Ende hanya satu contoh saja. —- maksudnya, apa yang ditegaskan didalam kuliah ini sebagai ciri khas kebudayaan Ende terlihat juga di Lio dan Ngao. bukan hanya di kab. Ende tapi juga seluruh Flores.

1 Modernisasi dan Rationalisme

Didalam Chapter ini, saya …

Kota Ende masa lampau
Kota Ende masa lampau
Kota Ende masa sekarang
Kota Ende masa sekarang

1.1 Modernisasi

Selama 40 tahun ini, kelihatannya ada banyak perubuhan di kampong yang bisa dikatakan “modernisasi”. Kesimpulan dari penganalisaan “perubuhan” ini ialah: Memang ada perubuhan kelihatannya. Tetapi itu hanya kelihatan saja — intisarinya kebudayaan Ende/Lio tetap ada. Untuk mendapat kesimpulan ini, mari kita mulai dengan “perubuhan yang kelihatan”.

Pada tahun 1980an, uang tidak begitu sering digunakan didalam kehidupan sehari hari di kampong. Padahal sekarang semua kegiatan di kampong bersifat uang. Misalnya pencaharian. Pada 1980an, orang kampong hidup dengan kebun padi, jagon dan sebagainnya. Untuk makan, meraka hanya ambil hasil dari kebun saja — tidak perlu uang. Sekarang, meraka harus membeli beras, jagon dan lain2 di toko karena mereka menanami kebun dengan tumbuh2an perdagangan — seperti cengkeh, coklat dan lain lain.

Kalau melihat hal2 diatas, sepertinya “modernisasi” ialah soal uang. Didalam kata lain, “modernisasi” adalah “capitalisme”. Memang itu benar; saya tidak menyangkal it — kita memang sementara masuk era capitalisme. Tapi apa yang mendasari “modernisasi” lebih mendalam; uang atau capitalisme itu hanya pada permukaan saja. Ada unsur yang lebih mendalam yang mendukung “modernisasi”.

1.2 Rationalisme

Apa faktor yang mendalam itu?. Nah, sekarang mari kita ambil contoh dari Jepang. Jepang ialah suatu negara yang bisa dikatakan bersukses di proses “modernisasi” — dari masyarakat “tradisionil” ke masyarakat “moderen”. Coba saya memperkenalkan kehidupan di Jepang sedikit.

Jepang terkenal sebagai negara dimana transportasi umumnya terseida, terumata kereta listrik — kita bisa pakai kereta listrik ke mana saja. Kami cek petanya dan jaringan kereta api, kemudian baca jadwalnya kereta api. Kalau buku jadwal katakan suatu kereta api berangkat dari suatu statiun pada jam 8 lewat 2 menit, misalnya. Kereta api memang berangkat dari situ pada jam 8 lewat 2 menit;

Tempo hari, ada kereta api yang “delay” 1 menit dari jadwalnya, Itu peristiwa pada waktu itu orang2 besar di KAI minta ma’af melalui TV dan media massa lain.

Begitu juga jam kerja (di Jepang). Kalau kantornya mulai jam 08:00, kalau anda terlambat 1 menit, Anda pasti dapat teguran dari atasannya. Gajinya bisa dipotong.

Penukaran pada umumnya berupa beli/jual di toko2 (di Jepang). Kalau anda beli barang yang harganya 55ribu dan membayar dengan uang 100ribu. Pemilik tokonya memberi anda 45ribu dengan barang itu. Tidak mungkin 40 ribu atau 50 ribu. Harus se-imbang — tidak boleh 1 rupiah pun ada perbedaan.

Apa yang saya ingin menyampaikan kepada anda ialah: dibawah permukaan (uang) ada faktor lain yang lebih penting di “modernisasi”. Yaitu “berhtung” atau “angka”. Menurut ide ini — Segala halnya harus berhitung/ di-expressikan didalam angka. kemudain dibanding. kemudian keputusannya diambil berdasarkan angka. Waktunya harus dihitung. Nilai barangnya dihitung. Nilai manusia juga dihitung.

Dari ide “berhitung” muncullah ide rationality. Berhitung harus dengan teliti — telitinya sampai angka 1 rupiah sehubungan uang — sampai angka 1 detik sehubungan waktu Behitung harus presisi.

Keputusan harus berdasarkan pada angka yang dihitung dengan teliti (presisi) — pilih barang 1m 100ribu dari 1m 120ribu — pilih barang 1m 100ribu dari 0.8m 100ribu — pilih dosen S2 dari S1 (kalau gajinya sama).

Temanya capitalisme itu “Cari Untung”.

Inilah ide rationalisme segala galanya harus dihitung (presisi) dan dibanding dan keputusannya harus “rational” — kalau satunya lebeih banyak dan lawannya lebih sedikit, harus pilih yang lebih banyak. “Rationalisme” ini latar-belakangnya “capitalisme” yang sekarang kita mengalami di mana2.

2 Filsafat dan Kebudayaan

2.1 Englishtenment dan Liberalisme

Nah sekarang kita cari pendapat2 dari berbagai filsafat supaya bisa menganalisa “modernisasi” secara lebih teliti. Apa sebenarnya “modernisasi”.

Poin pertama ialah capitalisme/rationalisme berakar di suatu aliran pemikiran, yang biasa disebut “Englightenment”, terutama yang dianjurkan oleh Immanuel Kant (1724–1804).

Apa yang menonjol/unik di pendapat Kant ialah pentingnya ke-pribadi-an. Menurut dia, kita manusia punya kepribadian sejak lahir. (1) “perasaan Etika” dan (2) “Rationality”, dasarnya rantionalisme, ialah barang kita semua mempunyai sebagai manusia. Pribadi2 independent inilah yang merupakan masyarakat. Didalam kata lain, Pribadi duluh baru ada masyarakat.

Penggantinya/penerusnya (successor to) ide enlightenment pada masa sekarang ialah “liberalisme” (terutama oleh John Rawls (1921–)). A Theory of Justice (Suatu teori keadilan). Mari kita sebut pendapat Kant/Rawls “liberalisme”. Yang paling penting di “liberalisme” ialah manusia independen. yang punya “rationality”. “Rationality” itulah akhirnya menjadi dasar capitalisme.

2.2 Kebudayaan Ende/Lio

Nah mari kita tengok kebudayaan Ende/Lio. Mari kita meninjau dua aspek kehidupan se hari2 di kebudayaan Ende/Lio: (1) Pertama tentang cara penukaran barang2 — wai rhaki (2) Kemudian cara tradionil untuk kerja sama (gotong royong) — songga.

Wai rhaki (Ende) (Ghuru Mana di Lio) ialah tulang punggungnya kebudayaan End/Lio. Kata ini artinya penukaran barang2 (“belis”) pada waktu perkawinan, kematian dan lain2. Untuk memahami ini hanya garis besar saja makan waktunya panjang sekali. Kita harus tahu apa artinya ka’E embu (pu’u kamu), apa artinya weta anE (ana weta), apa artinya bou minu aE petu dll — kita tidak punya waktu untuk ini. Di kuliah ini saya ambil hanya satu cara kecil untuk pinjam barang (biasanya binatang) sehubungan wai rhaki. — namanya marha “ambil”.

Andaikan anda anggauta keluarga pihak laki2. Anda harus mencari belis (ngawu) untuk nikah laki2. Ternyata sapinya tidak ada. Di Ende anda bisa “ambil” (marha) sapi dari kenalan anda tanpa acara apa2. Setelah nikah, waktu anda bisa memperoleh sapi lagi, barulah anda kembalikan utang ini (sapi). Sapinya kirakira besarnya sama. Kira2 saja — yang penting satu ekor sapi.

Prinsip pertama di marha itu “kirakira”. Prinsip ini melawan tajam dengan prisip rationality /capitalisme. Rationality berdasarkan pada penilaian dengan teliti (sampai 1 rupiah atau sampai 1 detik). Di toko (bidang capitalisme) kita timbang (berapa kg), ukur (berapa cm) dan sebagainya. Di marha (bidang wai rhaki) kita pakai prinsip “kirakira”. Kalau ambil satu ekor sapi, kembalilah satu ekor sapi yang kirakira sama.

Bandingkanlah hal2 diatas (wai rhaki) dengan situasi di toko, tempat capitalisme murni. Di toko kita harus pakai angka2 (ukur, timbang dll). Jangan pakai cara “kirakira”. Harus pakai cara “berhitung” dengan teliti.

Kesimpulannya: caranya wai rhaki itu lawan sekali dengan caranya capitalisme/rationalisme/ liberalisme, yaitu “modernisasi”. Wairhaki memakai prinsip “kirakira”. Prinsip itu lawan tajam dengan prinsip “presisi” di modernisasi/ capitalisme/ liberalisme.

Cara tradisionil untuk gotong royong disebut songga (didalam bahasa Ende) (si’i atau gagi di basaha Lio). Caranya begini: Misalnya besok anda ada acara penanaman padi (tendo) di kebun sendiri. Malam ini, anda kunjungi rumah2 di kampong (dan rumah2 keluarga) supaya kasitahu bahwa ada songga besok. Besok pagi di kebun, kita kerja ramai2 di kebun, menanam padi. Malamnya semua orang kumpul di rumahnya anda dan makan sama2.

Saya pernah tanya pada bapak angkat saya tentang songga. Kalau saya tidak ikut songga, bagaimana? Ada denda hukum? Bapak bilang: tidak ada apa2. Hanya, kalau engkau tidak ikut orang punya songga, nanti lama kelamaan orangnya tidak datang lagi engkau punya songga. — masuk akal juga… “Seimbang” tapi tidak pakai “berhitung”. Prinsipnya kirakira seimbang (bunkan presis seimbang).

Kita tengok keadaan di kebun lagi. Ada yang datang pagi sekali. Ada yang datang lama sekali. Ada yang kerja rajin. Ada yang kerja malas2 juga. MokE (tuak) dikasi sampai orangnya mabuk. DowE dinyani. Omongnya banyak sekali. Suasananya ramai — ribut juga. Banyak orang tertawa disana disitu.

Bandingkan saja songga dengan cara kerja di suatu kantor (Jepang). Kalau anda terlambat 1 menit, gajinya dipotong. Kalau anda omong2 dan bikin ribut dengan kawan kantor, anda dapat ditegur. Suasana kantornya hening — orangnya diam…

Sepertinya kebudayaan Ende/Lio melawang ide rationalisme/capitalisme yaitu “modernisasi”. Apakah kebudayaan Ende/Lio terkebelakang?. Saya jawab: Tidak!

2.3 Romanticisme dan Communitarianisme

Untuk menilai baik kebudayaan Ende/Lio, kita harus kembali lagi ke bidang filsaft. Saya sudah memperkenalkan satu aliran besar di filsafat Eropa, yaitu. Kant/Enlightenment/Liberalisme/ Rationalisme. Aliran yang bisa dikatakan dasarnya capitalisme/ “modernisasi”. Sekarang saya mau memperkenalkan suatu aliran lain didalam filsafat Eropa — yang melawan Kant/Liberalisme. Namanya Romanticisme.

Menurut Kant, kita lahir dengan rationality dan rasa Etika. Menurut dia, pribadi duluh baru masyarakat.

Herder (Johan Gottfried von Herder) melawan Kant; dia mengatakan: kita lahir tanpa apa apa. Semuanya (rationality, rasa etika dan sebagainya) kita mendapatkan melalui masyarakat. Menurut ide ini, masyarakat duluhan baru ada pribadi. Menurut ide ini, tujuan kehidupan manusia itu kesenian.

Nah kalau kita melihat kebudayaan Ende/Lio melalui lensa Romanticisme, Semuanya jelas — apa temanya kebudayaan Ende/Lio. Temanya bukan “Cari Untung” (tidak seperti capitalisme/ rationalisme). Temanya Kebudayaan Ende/Lio ialah hubungan manusia. Sepertinya orang Ende/Lio mengulang apa yang dikemukakan oleh Romantisist. Seperti Romanticist, kebudayaan Ende/Lio memperutamakan masyarakat— yaitu hubungan manusia sama manusia.

Tujuan Songga itu bukan cari untung. Kalau cari untung siapa mau pakai cara songga ini — itu sepertinya buang waktu dan buang uang. Tetapi buang waktu dan buang uang itulah bisa digunakan untuk mempertahankan hubungan manusia sama manusia.

Tujuan wai rhaki itu bukan cari untung, melainkan cari hubungan. Untuk cari untung harus pakai prinsip “kirakira”. Kalau memakai prinsip “presisi” penukarannya jadi “memjual dan membeli”. Apakah anda tahu kata “beli”/“jual” di dalam bahasa Ende/Lio. Mbeta (“beli”) di dalam bahasa Ende (atau geti di Lio). Dua2nya punya pengertian lain — yaitu “terputus” atau “potong”. Beli/Jual itu mepotong hubungan manusia.

Penutup

2.4 Permainan/Bahasa

Apa yang kemukakan didalam kuliah ini bisa disimpulkan pakai kiasan “permainan” atau “bahasa” untuk pendapat filsafat, juga untuk kebudayaan.

Mari kita ambil contoh dari permainan: bola volley dan bola kaki. Bola volley permainan lebih baik dari bola kaki atau bola kaki lebih baik? Pertanyaan ini tidak punya arti. Begitu juga bahasa. Bahasa Perancis lebih baik atau Bahasa Indonesia lebih baik? Begitu juga pertanyaan: capitalisme itu lebih baik atau kebudayaan Ende/Lio lebih baik. Begitu juga pertanyaan: liberalisme lebih baik atau romanticisme lebih baik?

Kalau suatu orang tidak lagi main sepak bola dan pindah ke bola volley, itu namanya perpindahan (bukan “kemajuan”). Kalau suatu orang tidak lagi memakai bahasa Perancis, dan selalu pakai bahasa Indonesia, itu bukan kemajuan, melainkan perpindahan saja. Begitu juga kebudayaan traditionil dan modernisasi (capitalisme/ liberalisme). “Modernisasi” itu bukan kemajuan, melainkan perpindahan dari suatu ide ke ide yang lain.

Nah sekarang kita hampir mengakhiri kuliah ini. Kita kembali ke permulaan kuliah ini, dimana saya katakan: Kelihatannya ada banyak perubuhan di kampong tetapi, intisarinya kebudayaan tetap. Apa maksudnya saya?

2.5 Bilingualism

Apakah anda tahu kata “bilingual”. Itu artinya: orang yang bisa memakai 2 bahasa seperti dua2nya bahasa ibu. Maksud saya waktu saya bilang “intisarinya tetap” ialah “bilingualisme”. Orang bilingual, didalam suatu kontekst, pakai satu bahasa, misalnya bahasa Perancis. dan didalam konteks yang lain, pakai bahasa yang lain, misalnya bahasa Indonesia. Begitu juga orang Ende/Lio.

Mereka di dalam suatu konteks memakai peraturan “kebudayaan/romanticisme”. Dan di dalam konteks yang lain memakai peraturan “capitalisme/liberalisme”. Misalnya… Didalam konteks Bantuan dari Pemerintah (seperti P4MI dll), mereka ikuat peraturan capitalisme/liberalisme. Kalau ada kerja jalan sehubungan P4MI, misalnya, mereka pakai jam dan angka lain2 (bukan secara songga). Kalau ada iuran, misalnya, untuk pipa air umum, mereka pakai bahasa capitalisme/liberalisme (bukan bahasa wai rhaki). Tapi kalau konteksnya kebudayaan (pernikahan, kerja rumah), mereka pakai bahasa kebudayaan.

Kesimpulannya begini. Dulunya (pada 1980an) mereka “monolingual” — hanya tahu satu bahasa saja, bahasa kebudayaan. Sekarang, satu bahasa baru, bahasa capitalisme/liberalisme ditambah akhirnya mereka menjadi bilingual. Inilah maksudnya dari: Kelihatannya perubuhannya besar tetapi intisari kebudayaan tetap ada sampai sekarang.

Terima kasih banyak atas kesadaran dan kesabaran Bapak2 Ibu2 Saudara2 Saudari2 sekalian. Begitulah kesimulan kuliah umum ini. Sekali lagi “terima kasih banyak”.

3 References